KISAH HIDUP SEORANG IBU SEJATI

Subuh saat itu masih dalam keadaan gelap gulita tatkala orang – orang kaya masih menikmati mimpi mereka, tidak demikian dengan seorang wanita separuh baya,tuntutan hidup memang mengharuskannya bekerja keras hanya sekedar untuk membiayai kebutuhan hidup keempat anaknya yang masih kecil tatkala itu. Dengan semangat hidup yang tinggi sang ibu harus rela berangkat meniggalkan rumah masih dalam keadaan gelap gulita, rutinitas ini memang haruslah dia jalani setiap harinya supaya anak-anaknya bisa makan, sekolah, jajan dan lain – lain sehingga kebutuhan pokok  rumah tangga dapat terpenuhi. Dengan bermandikan peluh dan keringat bercucuran, sekitar pukul 8 pagi sang ibu baru tiba dari pasar untuk menyiapkan perlengkapan yang diperlukan untuk menjual apa yang sudah dibeli dari pasar ke warga  disekitar tempat tinggal. Dari keempat anaknya saat itu hanya si sulung dan yang ke dua yang dapat membantu ibunya berjualan apabila tidak ada kegiatan belajar disekolah. Sang ibu dengan semangat hidup yang tinggi tak pernah mengenal kata menyerah dalam hidupnya meskipun selelah apapun tenaganya terkuras setelah kerja berat dari pasar demi  membantu suami dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Pagi itu cuaca cukup dingin, para ibu – ibu sudah menunggu untuk berbelanja kebutuhan masak di dapur di warung Ibu Afiani (Nama sang ibu) , dengan wajah penuh ceria ibu afiani memberikan senyum kepada para ibu – ibu sambil menyapa ” Sebentar ya  bu”  selagi membereskan dan menyiapkan  bahan sayur mayur dan perlengkapan yang akan dijual. Tiba waktunya setelah selesai  ibu afiani mempersilahkan para ibu untuk membeli bahan sayur – mayur yang mereka perlukan.Berbondong – bondong ibu – ibu langsung berebutan  ingin dilayani lebih dulu, Nurliani (nama anak ke-1 dari ibu Afiliani) tidak kalah sibuk membantu melayani para ibu – ibu yang berbelanja dengan memilihkan apa yang diiginkan dari pembeli, sementara Darmawan (anak yang ke dua) hanya menunggu aba – aba apa yang diperintahkan ibu Afiliani untuk dikerjakan.Dirumah ibu Afiliani juga tinggal adiknya yang bungsu (Masanto)  yang turut membantu pekerjaan ibu Afiliani berjualan dengan membukan warung sebelum ibu Afiliani tiba dari pasar, pintu warung memang memerlukan tenaga yang kuat untuk bisa membukanya, yang biasa dikerjakan oleh Masanto. Hari sudah agak siang, ibu – ibu yang biasa menghiasi suasana keramaian sudah mulai terlihat lengang, dan semua kebutuhan belanja mereka sudah terpenuhi semuanya meskipun tidak semua pembeli membayar lunas belanjaan mereka,karena kebanyakan mereka berhutang terlebih dahulu dan biasanya dibayarnya pada awal bulan. Kondisi tersebut memang haruslah diterima oleh ibu Afiani karena kalau tidak dikasih bon makan ibu – ibu tidak akan belanja setiap hari ke warungnya. Dalam keadaan lelah ibu Afiliani sejenak menarik napas untuk sekedar melepas lelahnya  sambil menghitung berapa hasil jualan yang sudah diperoleh karena uang hasil jualan hari ini harus dipakai lagi untuk modal jualan besok, resikonya kalau hasil jualan kurang dari modal maka ibu Afiliani harus mencari tambahan untuk menutupi biaya modal tersebut. Meskipun untuk yang diperoleh tidak seberapa tetapi tidak pernah ada sedikit keluhan yang  dirasakan sang ibu dan senantiasa mensyukuri nikmat yang diberikan. Siang itu Dermawan dan Nurliani sudah bersiap – siap akan berangkat sekolah, sebelum pamitan ibu Afiliani sudah tahu apa yang harus dia lakukan yaitu menyiapkan ongkos buat anak – anaknya sekolah, “Ini buat Darmawan dan ini buat Nurliani” , “Hati – hati nak, belajar yang rajin” itulah pesan – pesan yang disampaikan sang ibu sebelum anaknya berangkat. Dengan perasaan senang setelah menerima uang dari sang ibu masing – masing 500 rupiah, saat itu uang Rp 500 sungguh bernilai buat kebutuhan ongkos ke sekolah dan sisanya bisa dipakai untuk jajan  mereka meskipun kadang – kadang harus diirit. Pak Hariman, suami ibu Afiliani tidak memiliki pekerjaan yang  tetap, sehari – harinya hanya mengandalkan bisnis tanpa modal  yang anak – anaknya saat itu tidak mengerti bisnis apa yang dijalankan oleh sang ayah, kalau mendengar cerita sang ibu pak Hariman biasanya berbisnis tanah, Bapak kemana bu,? kok pulangnya tidak setiap hari? ” kok ibu yang bekerja?” itulah pertanyaan yang acap kali muncul dari hati dari anaknya ibu Afiliani.  Saat itu memang kondisi ekonomi keluarga pak Hariman memang sedang terpuruk sehingga sangat mengandalkan hasil jerih payah ibu Afiliani hasil dari jualan sayur – mayur.

Ketika hari sudah siang setelah selesai berjualan, Ibu Afiliani  tidak serta – merta bisa beristirahat dengan leluasa karena masih banyak pekerjaan rumah tangga yang harus beliau kerjakan, mulai dari memandikan Rosihan si bungsu, memasak, mencuci dll. Jiwa pekerja keras dan sifat sabar sang ibu mengundang simpati dari para keluarga maupun para tetangganya, sehingga beliau selalu disenangi oleh banyak orang karena sifatnya. Rumah yang ditempati keluarga ibu afiliani adalah rumah kontrakan sehingga bila masa kontrakan rumah sudah habis, mau tidak mau harus mencari kontrakan yang lain. Setelah 2 tahun tinggal dirumah kontrakan itu tiba – tiba pemilik kontrakan tidak mau memperpanjang kontrakannya, sang ibu dan sekeluarga terpaksa mencari kontrakan yang baru dan Alhamdulilah ada saja rejeki dari Allah,petualangan pak Hariman  mengais rejeki akhirnya menuai hasil dan sang ibu dapt kontrakan yang baru di daerah mandiaur. Dirumah kontrakan yang baru , pak Hariman sudah mulai sering berada di rumah dan sudah memperlihatkan tanda – tanda keberhasilan dalam usahanya sehingga Pak Harliman menyewakan sebuah kios di pasar Semai sehingga bu Afiliani bisa mengembangkan usaha dagangannya. Sejak itu kehidupan ekonomi pak Hariman sudah mengalami perubahan yang lebih baik sehingga sang ibu tidak perlu julan sayuran lagi dan juga tidak perlu harus bangun jam 3 subuh lagi untuk beranghkat ke pasar, karena sekarang usaha bu Afiliani adalah berdagang perlengkapan kelontongsan dan buka tokonya jam 8 pagi.